Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa sebanyak 300 kepala daerah terjerat kasus korupsi sejak diberlakukannya pemilihan kepala daerah secara langsung.
Dikutip dari kompas, Ketua KPK, Firli Bahuri, dalam siaran pers Jumat 7 Agustus mengatakan bahwa sejak 2005 ketika pilkada langsung diterapkan, terdapat 300 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi. 124 diantaranya sudah ditangani KPK.
Firli juga menambahkan bahwa pelaksanaan pilkada yang bersih sangatlah penting. Dia menggambarkan bahwa yang sekarang ini pilkada justru mencetak koruptor yang baru, karena banyak kepala daerah yang tidak lama setelah terpilih justru menjadi tersangka korupsi.
Firli pun menjelaskan bahwa KPK mengedepankan konsep tiga pendekatan dalam mengawal pilkada bersih. Pertama, pendekatan secara represif yang bertujuan untuk menimbulkan efek jera. Kedua, pendekatan pencegahan dengan perbaikan sistem dan tata kelola pemerintah. Ketiga, pendekatan edukasi dan kampanye publik sehingga terciptanya kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan korupsi. Firli juga mengingatkan potensi penyimpangan dana penanggulangan covid-19 yang rentan untuk dikorupsi.
Baca Juga: LAPAN Berencana Bangun Bandar Antariksa di Biak Papua
Rendahnya Integritas Personal
Dikutip dari republika, peneliti komunikasi politik Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah menilai penyebab banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi karena tiadanya integritas personal.
Kepala daerah yang korupsi juga merupakan cerminan gagalnya partai melakukan kaderisasi, sehingga kader yang muncul adalah kader dengan moral yang rendah.
Dedi juga menekankan pentingnya pengawasan kepala daerah oleh regulator. Kepala daerah yang tidak benar berpotensi menjelma menjadi raja kecil dan bertindak diluar batas birokrat. Tentunya menurut Dedi, ada andil sistem politik di daerah yang memberikan ruang bagi koruptor.
Dedi pun meminta agar syarat mengikuti pilkada tanpa parpol harus dipermudah. Hal ini untuk mengurangi dominasi parpol dalam pilkada.
“Dengan kondisi itu masyarakat dinomorduakan karena kepentingan parpol menjadi prioritas,” tambah Dedi.
Menurut Dedi, dalam politik tidak bisa semata mengandalkan moral personal. Sebaik apapun kepala daerah selama ia berkuasa dengan jasa dari pihak lain, maka akan semakin mungkin terjadi manipulasi kekuasaan. Manipulasi ini tentunya ditujukan untuk membalas jasa.
“Memotong mata rantai itu, sistem harus diperbaiki, salah satunya dengan memudahkan kandidat independen dalam pilkada, perberat hukum bagi koruptor baik yang libatkan pemerintah maupun swasta,” tutup Dedi.