
Amarah warga net membara, sesaat setelah nama YouTuber asal Bandung, Ferdian Paleka tiba-tiba menghiasi lini masa baik di Twitter, Instagram maupun Facebook. Aksi prank sebagai konten yang diunggah oleh Ferdian dianggap sangat tidak berperikemanusiaan.
Aksi prank tersebut dimulai dengan munculnya Ferdian Paleka dan kawanannya yang mengungkapkan kelakuan kejinya dengan mengisi kardus dengan sampah, untuk kemudian dibagikan kepada kumpulan transpuan. Aksi yang dibuat seolah-olah sebagai bantuan kemanusiaan, diterima dengan penuh rasa syukur oleh para transpuan, yang pastinya akan berujung kekecewaan yang mendalam.
Aksi yang direkam dan diunggah pada kanal pribadi Ferdian Paleka ini sontak memantik amarah dari seluruh netizen. Bahkan segerombolan komunitas yang merasa namanya ikut tercemarkan oleh Ferdian, karena tersebutkan dalam video tersebut, ikut geram. Rumah Ferdian Paleka pada hari Minggu, 03/05/2020 digeruduk massa, namun yang bersangkutan tidak berada di kediamannya.
Empati seolah telah menjadi sebuah nilai yang langka di negeri ini. Ketika kemanusiaan dikalahkan oleh ego dan konten, transpuan yang dahulu mempunyai tempat di Indonesia, kini semakin termarjinalkan.
Baca Juga: Perpu Corona Digugat Karena Dinilai Bertentangan
Eksistensi Transpuan yang Dianggap Sudah Lagi Tak Sesuai Norma Masyarakat
Tranpuan kini semakin tidak mendapatkan tempat di Indonesia. Kehadiran sosok yang dahulu mendapatkan tempat di dunia hiburan terutama dunia komedi, kini dianggap sebagai sesuatu yang tabu.
Nilai yang dulu diakui di dalam tradisi dan kesenian nusantara, kini seolah menjadi asing. Asing pada tempat di mana ia seharusnya menjadi pribumi dalam langgam budaya kita.
Pada tahun 2016, Komisi Penyiaran Indonesia mengeluarkan larangan bagi stasiun televisi untuk menampilkan karakter pria yang bergaya kewanitaan. Dianggap karakter tersebut tidak sesuai dengan ketentuan penghormatan terhadap norma kesopanan dan kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat serta perlindungan anak-anak dan remaja.
Kehadiran transpuan atau waria sudah ada dalam kesenian kita jauh sebelumnya. Ludruk merupakan tempat mereka menunjukkan eksistensinya, kini semakin tergerus zaman. Seni peran kampung yang dulu begitu hidup di Jawa Timur, kini redup mengiringi perjalanan transpuan dari masa ke masa.
Mengakarnya eksistensi dari transpuan di dunia kesenian kita, terbawa hingga ke layar-layar bioskop. Sosok-sosok yang diperankan oleh sederet aktor terkenal, berhasil mengocok perut para penontonnya. Katakanlah Benyamin Sueb, Tessy dan lainnya.
Tapi itu pun menjadi sebuah ironi pada kehidupan nyata. Sosok transpuan yang selalu dikejar oleh petugas keamanan, menjadi sebuah pemandangan miris, yang semakin memojokkan kaum ini.
Tampilan adegan di layar lebar serta kenyataan, tidak jauh berbeda. Yang membedakan hanyalah rasa dari para pelakunya. Eksistensi mereka yang dianggap melenceng dari nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, semakin lama semakin menjadi legitimasi untuk dilakukannya persekusi.
Transpuan Lebih Gampang Dikenal, Lebih Gampang Dijadikan Target
Tampilan transpuan yang selalu mendatangkan olok, kini semakin rentan karena stigma yang melekat berdasarkan sentimen. Pada tanggal 9 April 2020 lalu, seorang transpuan bernama Mira dibakar hidup-hidup di Cilincing, Jakarta Utara, karena dituduh mencuri.
Peristiwa biadab tersebut dilakukan meskipun tidak ada satu pun bukti pencurian yang dilakukan Mira. Bahkan setelah kamar kos yang ditempati Mira digeledah dan tidak didapati apa-apa, Mira tetap harus meregang nyawa.
Tindakan kekerasan karena orientasi seksual dan ekspresi gender paling banyak diderita oleh transpuan. Penelitian yang dilaporkan oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menyebutkan selama 2017, ada 715 orang transpuan yang menjadi korban kekerasan ini.
Kini, peran transpuan tak lebih dari sekadar upaya untuk bertahan hidup dan mempertahankan eksistensinya tanpa harus menjadi korban kekerasan. Stigma masyarakat yang menganggap eksistensi transpuan tak lebih dari kaum pengganggu dan tidak bermoral, semakin memperparah keadaan ini.
Diamnya pemerintah dan aparat, seakan mengiyakan semua stigma yang berlaku sebagai suatu keadaan yang normal. Mungkin hanya Ali Sadikin, Mantan Gubernur DKI Jakarta, pada tahun 1968 yang mau bersuara untuk mereka.
Dalam biografinya Bang Ali: Demi Jakarta karya Ramadhan KH., para transpuan itu sangat senang karena merasa dimanusiakan oleh Bang Ali. Ali Sadikin menganggap mereka sebagai penduduk Jakarta, hingga harus diurus oleh Gubernurnya. Memberikan padanan kata Wadam sebagai singkatan Wanita Adam merupakan upaya Ali Sadikin untuk merujuk kepada mereka yang pada saat itu sedang booming-boomingnya dipanggil banci atau bencong.