Kota Depok merupakan salah satu kota penyanggah Jakarta yang baru memisahkan diri Bogor menjadi madya pada tahun 1999. Penetapan Depok menjadi kota yang dimekarkan adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok.
Depok saat ini merupakan sub-urban yang menjadi hunian para pekerja Jakarta. Harga rumah yang cenderung lebih murah, menyebabkan banyak kaum urban Jakarta memilih Depok sebagai tempat tinggalnya.
Kota yang kini dihuni lebih dari 2,5 juta warga ini, mempunyai sejarah yang cukup memukau juga. Bisa dikatakan sejarah Depok juga mencerminkan pembebasan budak belian, sebuah praktik yang cukup lazim di kala pendudukan Belanda dahulu.
De Eerste Protestante Organisatie van Christenen
Pada tanggal 18 Mei 1696, seorang pejabat tinggi Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) membeli tanah yang mencakup pinggiran Batavia (Jakarta) dan Depok yang kita kenal saat ini. Tanah tersebut dibeli dan dikhususkan sebagai lahan pertanian.
Orang itu adalah Cornelis Chastelein, yang kini lembaganya masih bisa kita temui di Jalan Pemuda, Kota Depok.
Baca Juga : Mitos Gado-gado: Sehat? Atau Picu Asam Urat?
Untuk menggarap lahan pertanian yang begitu besarnya, Chastelein mendatangkan pekerja dari berbagai daerah di Indonesia, juga Filipina. Selain menggarap pertanian, Chastelein yang seorang Kristen taat juga menyebarkan agama kepada para pekerjanya.
Oleh karenanya, didirikanlah sebuah padepokan Kristiani yang disebut De Esrste Organisatie van Christenen yang berarti Jemaat Kristen yang pertama. Dari nama padepokan inilah, banyak yang meyakini sebagai toponimi atau asal usul dari nama Kota Depok kini.
Chastelein kemudian menuliskan wasiat menjelang ajalnya untuk tidak saja membebaskan semua pekerjanya, namun juga mewariskan seluruh tanahnya kepada mereka. Juga setiap keluarga yang menjadi pekerja di pertanian Chastelein mendapatkan 16 ringgit. Seluruh harta dari Chastelein yang berupa kerbau dan koleksi mahal juga diwariskan untuk dibagikan kepada seluruh bekas pekerjanya.
Pondok Cina Dulu Bukanlah Bagian dari Depok
Salah satu bagian dari Depok yang cukup terkenal selain Jalan Margonda adalah Pondok Cina. Tempat di mana stasiun KRL yang setiap hari dipadati oleh kaum urban commuter ini, dahulu bukanlah bagian dari kota ini.
Pondok Cina, dahulu adalah kampung yang bernama Kampung Bojong. Kampung ini menjadi tempat transit pedagang Tionghoa yang hendak berdagang di Depok. Kala itu, Chastelein melarang pedagang Tionghoa untuk bermukim di Depok. Oleh karenanya, pedagang-pedagang Tionghoa itu mendirikan pondok di Kampung Bojong sebagai tempat peristirahatan sebelum besoknya kembali berdagang di kota ini.
Karena banyaknya pedang Tionghoa yang mendirikan pondok di kampung ini, mulailah bergeser nama Kampung Bojong menjadi Pondok Cina, yang kita kenal hingga sekarang.
Sepintas, itulah secuil sejarah mengenai Kota Depok yang selain menjadi sub-urban Jakarta, juga menjadi kota pelajar karena adanya Universitas Indonesia. Depok merupakan rangkaian yang turut mendenyutkan nadi kehidupan Ibu Kota Jakarta.
Kota ini masih jauh dari kata sempurna. Jalan yang tidak ramah pedestrian dan bolong di mana-mana menjadi suguhan warganya. Kemacetan yang terkunci di Jalan Margonda dan Juanda adalah kondisi yang harus ditemui secara rutin.
Namun, kota ini masih nyaman dihuni dengan segala carut marutnya. Mungkin ingin dihibur oleh lagu ciptaan walikotanya pada pemberhentian lampu merah? Depok adalah kota yang tepat untuk disinggahi. Jangan lupa gerakan makan menggunakan tangan kanan.