Minimnya jumlah dokter spesialis di Indonesia salah satunya karena sistem pendidikan yang masih berbasis kampus. Sebab, sistem tersebut membuat para peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) kesulitan, terutama terkait biaya pendidikan yang mahal.
Karena itu, seorang peserta PPDS yang tak ingin menyebut identitas mendorong agar pemerintah mengubah sistem pendidikan dari university based menjadi hospital based.
Dia menjelaskan, sistem pendidikan berbasis rumah sakit akan mengubah banyak hal. Salah satunya, dokter residensi bisa menerima gaji dalam jumlah tertentu. Karena selama ini, kesulitan menjadi dokter residensi antara lain adalah soal penghasilan.
“Jadi ketika dokter spesialis yang awalnya dimonopoli oleh universitas yang jumlahnya sedikit, sekarang bisa dikelola rumah sakit yang jumlahnya banyak, jadi sesuai prinsip ekonomi kalau barang sedikit harga akan mahal,” kata peserta tersebut dilansir CNN Indonesia.
Sistem berbasis rumah sakit dinilai lebih tepat, karena peserta PPDS akan melakukan proses belajar di rumah sakit yang membutuhkan namun tetap mendapat penghasilan atau gaji yang layak. Peserta itu mengungkapkan, seorang calon dokter spesialis harus melalui jalan berliku untuk menjadi dokter spesialis di Indonesia, salah satunya mesti menyiapkan dana yang jumlah tak sedikit.
“Selama ini seperti itu, karena jumlah center (pendidikan) masih sangat sedikit, artinya kompetisi keras. Artinya, universitas punya power yang cukup tinggi. Dengan jadi hospital based, suplai akan banyak dan harga bisa ditekan,” lanjutnya.
Peserta PPDS lain yang juga tak mau disebutkan namanya menambahkan, pemerintah bisa mulai melakukan benchmarking ke negara-negara lain yang menggunakan sistem pendidikan berbasis rumah sakit. Dia memberi contoh negara Jerman, yang memiliki sistem rekrutmen yang obyektif.
Adapun hal lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah sistem magang. Peserta itu menyebut, jumlah dokter yang mendaftarkan diri dalam program selalu banyak setiap tahun. Sayangnya, pilihan mendaftarkan diri itu terbentur oleh kesempatan belajar yang masih terbatas.
“Problem-nya kalau misalkan kuotanya ditambahkan, apakah jumlah pasien di center pendidikan mencukupi untuk memberikan suatu kesempatan belajar sama jumlahnya? Misalnya suatu lembaga pendidikan menerima 20 residen ortopedi, tapi kan pasiennya enggak sebanyak itu, jadi kesempatan kita operasinya jadi sedikit,” katanya.
Lebih lanjut, dia pun menyinggung soal senioritas yang masih berlaku di PPDS, serta fasilitas di daerah yang belum memadai. Sarana dan prasarana yang kurang dipastikan menghambat proses belajar peserta PPDS.
“Misalnya saya mau praktik di Kalimantan, saya harus izin dulu sama senior di sana. Kalau misalnya saya enggak dapat izin, STR dan SIP dari sana enggak akan keluar dari kolegium. Jumlah dokter spesialis kan enggak banyak, jadi kolegium isinya dia-dia juga. Ibaratnya saya kan bisa ganggu lahan dia, jadi harus sowan dulu, izin dulu sama senior,” paparnya.
Hal selanjutnya yang juga mutlak dibutuhkan dokter yang ditempatkan di daerah adalah dukungan dari profesional di bidang kesehatan lain. Misalnya, perawat ahli bedah untuk membantu dokter bedah, atau perawat anestesi untuk membantu dokter anestesi.
Di sisi lain, ada optimisme kuat atas kepemimpinan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang siap mengeluarkan 2.500 beasiswa PPDS. Peserta PPDS pertama di atas mengingatkan, meski pemberian beasiswa akan bisa menutup satu lubang terkait peningkatan jumlah dokter spesialis di Indonesia, namun ada beberapa hal yang tak bisa diabaikan, seperti sistem penerimaan dan budaya pendidikan.
Dia menyebut memiliki hipotesis pola PPDS yang dibagi menjadi dua golongan. Golongan pertama, adalah mereka yang memiliki kemampuan finansial dan latar belakang pendidikan yang baik, sehingga besar kemungkinan diterima dan dapat menyelesaikan program.
Sementara, golongan kedua adalah para dokter umum yang tidak memiliki hak istimewa seperti golongan pertama. Sehingga, lebih kecil kemungkinan bisa diterima PPDS.
“2.500 beasiswa dengan sistem penerimaan gaya lama dan budaya lama itu inovasi yang salah sasaran. Kalau golongan A yang dapat beasiswa, tepat sasaran atau tidak? Saya khawatir 2.500 beasiswa akan jatuh ke golongan A yang sebenarnya tidak perlu beasiswa karena dari awal sudah punya power menyelesaikan PPDS,” kata dia.