Elegi Bineka Tunggal Ika Pasca Pesta Demokrasi – 22 pasca reformasi, Indonesia masih merangkak belajar akan apa artinya kebebasan berpendapat. Tinggalan-tinggalan sentimen menimbulkan friksi yang tak jarang menjadi media politik untuk meraup simpati masyarakat. Kebebasan berpendapat masih menjadi paradoks bagi negara yang terhitung sangat muda ini dalam mengenal sebuah demokrasi.
Kebasan berpendapat, kebebasan beropini sebagai hak asasi manusia tertuang dalam Resolusi Majelis Umum PBB 16 Desember 1966 melalui Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Namun batasan berpendapat ini menjadi sebuah ironi ketika digaungkan berdasar sentimen-sentimen tertentu.
Kebebasan dalam beropini dan berpendapat sebagai bagian dari demokrasi dan semangat reformasi, bukanlah suatu hak yang tak berbatas. Batasan-batasan kebebasan yang kita miliki bisa terukur dari batasan kebebasan yang dimiliki oleh orang lain. Kebebasan kita berakhir di mana kebebasan orang lain dimulai.
Tampaknya hal ini kian menjadi kabur. Kebebasan berpendapat berbalut sentimen yang dilontarkan sebagai hak berbicara semakin diperparah pasca pemilu beberapa tahun ke belakang. Politik identitas yang dipergunakan untuk meraih suara justru memantik terbangunnya sekat-sekat yang semakin merobek cita-cita bangsa yang berbineka.
Baca Juga: Rusuh Minneapolis, Jejak “White Supremacist” Yang Berulang
Apakah Pancasila kini hanya menjadi jargon?
Kepentingan politik yang begitu panas meninggalkan residu yang begitu banyak. Rekonsiliasi untuk membangun kembali semangat kebangsaan sebagai bineka tunggal ika, sepertinya butuh upaya serius dari seluruh elemen bangsa.
Masyarakat yang terpecah menjadi beberapa fraksi, entah itu cebong, kadrun, ahokers merupakan fragmen-fragmen yang terus menerus diselipkan pada setiap kesempatan berpendapat. Ad hominem sepertinya telah menjadi bumbu yang menjadi konklusi pada setiap perdebatan yang ada di platform-platform media sosial.
Hinaan-hinaan ras, suku melalui memes yang beredar tak kalah memainkan peran pada panggung politik kita. Pilihan politik telah menjadi kredo yang mengaburkan akal sebagian masyarakat. Indonesia seakan disekat oleh dua pilihan. Pro atau kontra. Tidak ada poros tengah.
Fanatisme akan suatu tokoh maupun fanatisme terhadap kebencian akan satu tokoh adalah warna yang menghiasi apa yang kita sebut sebagai pesta demokrasi. Menolak untuk berpolitik secara dewasa juga merupakan pilihan dan hak sebagai masyarakat. Tapi sebaiknya kita berkaca pada retakan-retakan akibat politik identitas itu. Merajut kebangsaan janganlah sekadar menjadi retorika pemanis tagline politik. NKRI Harga Mati hendaklah menjadi nyawa dari nafas bangsa ini. Pancasila hendaklah dikembalikan posisinya sebagai fondasi negara yang ditempatkan oleh para founding father kita. Bagaimanapun, Selamat hari lahir, Pancasila.