
Gerak Lincah Jonan Menghindari Kasus Korupsi Yang Menyebut Namanya – Pada Maret 2018, mencuat sebuah kasus yang menyeret Direktur Jenderal (Dirjen) Perhubungan Laut (Hubla) terkait proyek pekerjaan pengerukan alur pelayaran pelabuhan dan persetujuan penerbitan Surat Izin Kerja Keruk (SIKK). Antonius Tonny Budiono adalah Mantan Dirjen Hubla yang saat ini telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi serta dijatuhkan vonis selama 5 tahun penjara oleh majelis hakim Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Antonius mengakui menerima uang dari Adi Putra Kurniawan yang menjabat Komisaris PT. Adiguna Keruktama. Adi menuturkan bahwa ada pihak lain yang menerima uang, salah satunya Hadi Mustofa Djuraid yang pernah menjabat menjabat sebagai staf menteri perhubungan dibawah kepemimpinan Ignasius Jonan.
Dikutip dari Republika.co.id Tonny mengatakan “Hadi Djuraid ada terima uang 1 milliar tapi sudah dikembalikan setengahnya”. Selain itu Adi juga menjelaskan ia memberikan uang paling banyak sekitar 200 juta kepada Hadi Djuraid dalam 3 tahun, sekali ia memberikan Rp 10 juta.
Pemanggilan Ignasius Jonan Sebagai Saksi
KPK memanggil Ignasius Jonan sebagai saksi dalam dugaan suap dan gratifikasi Dirjen Hubla. Jonan merupakan mantan Menteri Perhubungan (Menhub) saat dugaan penerimaan suap dan gratifikasi dilakukan Tonny. Ia juga yang melantik Tonny menjadi Dirjen Hubla pada Mei 2016. Jonan diduga mengetahui banyak hal mengenai Tonny.
Pada tahun 2019 KPK memanggil kembali Ignanius Jonan sebagai saksi dalam 2 perkara yaitu perkara pertambangan dan kasus korupsi proyek PLTU Riau. Jonan diperiksa penyidik KPK dalam 2 perkara tersebut dengan tersangka mantan Direktur Utama (Dirut) PT. PLN Sofyan Basir, dan suap kepada Eni Maulani Saragih oleh pemilik PT. Borneo Lumbung Energi dan Metal (BLEM) Samin Tan.
Dalam Perkara Pertama Mantan Dirut PLN Sofyan Basir membantu Eni Maulani mendapatkan kontrak kerja senilai 900 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau Rp12,8 Triliun. Sedangkan pada perkara kedua, Jonan dimintai keterangan terkait kasus Samin Tan yang diduga memberikan suap untuk Eni sebesar 5 miliar.
Dikutip dari Tempo.co, saat pemeriksaan pada tanggal 31 Mei 2019, Jonan dikonfrontir oleh Sofyan Basir, namun Jonan tidak menjawab, Jonan juga tidak menjawab pertanyaan soal uang 10 ribu dolar Singapura dari Hadi Mustofa Djuraid yang telah menjadi Staf Kementerian ESDM.
Baca Juga: Ternyata Ini Alasan Diusulkannya RUU Ketahanan Keluarga
Belum Ada Perkembangan Terkini Terkait Ignasius Jonan dalam Beberapa Kasus
Sampai saat ini belum ada perkembangan lebih lanjut mengenai kasus Jonan sebagai tersangka terkait beberapa kasus yang telah mencuat namanya. KPK dinilai lamban dalam menangani kasus tersebut, berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya seperti suap jual beli jabatan yang dilakukan oleh yang Romahurmuziy yang telah divonis 2 tahun penjara, dan ditahannya Imam Nahrawi sebagai tersangka dalam dugaan suap dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Lambatnya pengembangan penyidikan oleh penyidik KPK menjadi tanda Tanya bagi masyarakat pemerhati masalah korupsi di negeri ini. Aliran dana yang diterima oleh Stafsus Jonan, Antonius Tonny Budiono sebesar Rp1 miliar, meskipun sudah dikembalikan setengahnya harus ditelusuri distribusinya sebagai pengembangan alat bukti. Memang, tidak serta merta semua perbuatan Stafsus akan selalu terkoneksi ke atasnya, namun perlu dipertanyakan juga, sampai di mana kewenangan seorang Stafsus pejabat tinggi negara dalam alur sebuah kebijakan yang menguntungkan pihak-pihak yang terkait dengan korupsi? Jika bukan untuk kepentingan oknum yang di atasnya.
Nama staf khusus dalam lingkaran korupsi bukan baru kali ini terjadi. Nama Ali Fahmi sebagai Stafsus Kepala Bakamla pernah mencuat menerima aliran dana korupsi.
Mengutip dari Tirto.ID, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zainal Arifin Mochtar menilai keterlibatan stafsus dalam lingkaran korupsi yang menjerat pejabat tinggi atau pemerintah adalah sebuah kelaziman. “Staf khusus kadang-kadang menyaru, mewakili pejabatnya menerima-menerima begitu dititipkan lewat staf khusus. Bisa juga Staf khusus ngaku-ngaku aja mewakili pejabatnya untuk terlibat,” kata Zainal saat dihubungi Tirto.
Kredibilitas KPK dalam mengembangkan penyidikan yang menyeret nama pejabat tinggi sedang menjadi pertaruhan setelah polemik revisi UU KPK yang baru. Apakah kasus Hubla dan Suap PLTU Riau akan selesai sampai di sini saja, ataukah akan memunculkan nama-nama baru seperti kasus E-KTP? Kita nantikan kiprah KPK selanjutnya di bawah kepemimpinan Firli Bahuri.