Hikayat Kudeta Indonesia
Hikayat Kudeta Indonesia dan Lelakonnya

Hikayat Kudeta Indonesia dan Lelakonnya – Kudeta yang berasal dari Bahasa Perancis, Coup D’etat, adalah penggulingan kekuasaan pemerintah yang sah, dengan cara yang tidak demokratis. Sejarah kudeta sudah tercatatkan terjadi sejak zaman Sebelum Masehi.

Hikayat Kudeta Indonesia

Kepemimpinan monarki pada sebuah kerajaan, sarat dengan gerakan kudeta untuk mendongkel pihak yang sedang berkuasa. Ini mungkin menjadi satu-satunya jalan, karena tampuk pemimpin diwariskan kepada anggota keluarga, bukan melalui pemilihan.

Kudeta yang pertama kali dicatat dalam sejarah, adalah kudeta militer pada tahun 876 Sebelum Masehi. Kudeta dilakukan oleh Zimri, yang menurut Kitab Ibrani, adalah pimpinan militer Israel kala itu.

Dengan membunuh Raja Israel keempat, Raja Elah, Zimri berhasil naik menjadi raja. Namun kepemimpinan Zimri hanya bertahan beberapa hari. Dibayangi oleh ketakutan akan digulingkan dengan pola yang sama, Zimri melakukan bunuh diri.

Kudeta Raden Wijaya yang Melahirkan Majapahit

Baca juga: Papua Indonesia – Sejarah, Kebudayaan Serta Kondisi Alam

Nusantara yang dahulu juga merupakan kerajaan-kerajaan dengan pemerintahannya sendiri-sendiri, tak luput dari peristiwa kudeta dalam perebutan kekuasaan.

Majapahit, kerajaan terbesar yang dalam Kitab Kartanegara menyatakan mampu menyatukan Indonesia di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk dengan Patihnya Gajah Mada pun muncul sebagai hasil kudeta yang dilakukan oleh Raden Wijaya.

Seperti yang dilansir dari laman Historia, Majapahit lahir pada tahun 1293, setelah kemelut panjang kudeta dan perebutan kekuasaan di akhir masa Kerajaan Singhasari. Kerajaan Singhasari kala itu dipimpin oleh Jayakatwang, yang mendapatkan kekuasaannya setelah melakukan pemberontakan dan kudeta terhadap Raja Kartanegara.

Raden Wijaya, pada saat pemerintahan Kartanegara, merupakan penasihat kerjaan yang dipercaya. Jatuhnya Kartanegara, membuat Raden Wijaya harus berpura-pura menyerah, agar bisa mengatur strategi untuk membalas dendam atas kudeta yang dilakukan Jayakatwang.

Dengan tunduknya Raden Wijaya ke Jayakatwang secara suka rela, Raden Wijaya mendapatkan kepercayaan dari Jayakatwang. Dengan sedikit memohon, Raden Wijaya meminta agar Jayakatwang memberikan sedikit daerah kekuasaan kepadanya dengan alasan untuk membendung potensi ancaman dari lawan.

Dibantu Kerajaan Mongol, Singhasari Jatuh

Baca juga: Perlu Tahu! Perbedaan Selesma, Flu dan Virus Corona

Sebagai seorang penguasa daerah, Raden Wijaya mempergunakan kesempatannya untuk mengumpulkan kekuatan agar bisa membalaskan dendam Kartanegara dan merebut kembali Singhasari dari Jayakatwang.

Keberuntungan mungkin sedang berada di pundak Raden Wijaya. Pada tahun 1293, Kerajaan Mongol dengan 20.000 pasukan tiba di Singhasari. Kedatangan pasukan kekaisaran Mongol yang dipimpin oleh Ike Mese tersebut, bertujuan untuk menyerang Singhasari sebagai tindakan balas dendam atas perbuatan Kertanegara yang pernah menghina utusan dari kekaisaran dengan memotong telinga si utusan tersebut.

Hadirnya Ike Mese, merupakan kesempatan bagi Raden Wijaya untuk menunggangi pasukannya sebagai strategi dalam menghancurkan Jayakatwang. Berbekal pasukan dari Mongol, Jayakatwang berhasil ditaklukkan oleh Raden Wijaya.

Kondisi Ike dan pasukannya yang lengah dan lemah setelah peperangan, menjadi kesempatan Raden Wijaya untuk menyerang mereka. Serangan yang dilakukan secara besar-besaran ini memukul mundur pasukan Mongol dan membuat mereka kembali ke daerah asalnya.

Setelah peristiwa itu, Raden Wijaya menyatakan berdirinya Majapahit dan mendaulat dirinya sebagai raja dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana.

Peristiwa 3 Juli 1946 – Hikayat Kudeta Indonesia Pertama Paska Kemerdekaan

Baca juga: Efi Paulin Numberi, Perempuan Papua Pertama yang Pimpin Kejaksaan

Kemerdekaan yang baru seumur jagung, tentu masih menyisakan kepentingan dan ambisi politik dari kelompok pejuang yang beragam. Pada tahun 1946, Kelompok Persatuan Perjuangan, yang antara lain beranggotakan Tan Malaka, mencoba menggulingkan pemerintahan yang baru dibentuk yakni Kabinet Sjahrir II.

Rencana penculikan tokoh-tokoh Kabinet Sjahrir II ini mencuat akibat ketidak puasan terhadap pemerintah Indonesia kala itu, yang terlalu mengedepankan diplomasi. Mereka menginginkan kedaulatan penuh Indonesia dari Belanda.

Atas isu penculikan ini, Tan Malaka beserta beberapa anggota kelompoknya ditangkap dengan tuduhan makar. Pada tanggal 27 Maret 1946, percobaan kudeta dilakukan. Sutan Sjahrir sebagai pemimpin kabinet kala itu dan beberapa anggota kabinet diculik orang yang tidak dikenal.

Keesokan harinya, Presiden Soekarno menyatakan keadaan darurat, dan mengambil alih kekuasaan pemerintahan Indonesia yang kala itu masih dipimpin oleh Perdana Menteri, yakni Sutan Sjahrir.

Merasa perjuangan mereka berhasil, Kelompok Persatuan Perjuangan melepaskan seluruh korban penculikan, dan dengan percaya diri menghadap Presiden Soekarno dengan memberikan sejumlah maklumat.

Kelompok ini menuntut agar Kabinet Sjahrir II, yang kala itu bahkan belum efektif memimpin pemerintahan Indonesia untuk dibubarkan. Mereka menuntut Presiden untuk membentuk Dewan Politik yang beranggotakan Tan Malaka, Muhammad Yamin dan beberapa nama lainnya sebagai pimpinan politik resmi yang sejajar dengan kementerian.

Maklumat ini ditolak mentah-mentah oleh Presiden Soekarno. 14 orang yang diduga terlibat dalam upaya kudeta terhadap Kabinet Sjahrir II ini ditangkap. Namun kemudian seluruhnya dibebaskan pada tahun 1948, dengan grasi presiden.

Kudeta 3 Juli 1946 merupakan kudeta pertama di Indonesia dan dikenal sebagai kudeta yang dimaafkan. Kondisi Indonesia yang belum stabil paska kemerdekaan memang masih menimbulkan kerancuan politik.