Indonesia Resmi Mengalami Resesi – Indonesia resmi masuk jurang resesi. Kepastian tersebut terjadi setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 3,49% pada kuartal III 2020.
Dengan begitu, maka Indonesia mengalami pertumbuhan minus pada dua kuartal berturut-turut. Sebelumnya, pada kuartal II 2020, Indonesia mencatat pertumbuhan minus 5,32%. Resesi sendiri adalah keadaan ekonomi suatu negara yang mengalami pertumbuhan negatif dalam dua kuartal berturut-turut.
Pertumbuhan minus pada kuartal III 2020 berbanding terbalik dengan kuartal III 2019. Saat itu Indonesia mencatat pertumbuhan sebesar 5,02%.
“Dengan posisi ini kalau kita bandingkan posisi kuartal III 2019 maka posisi pertumbuhan Indonesia secara tahunan masih mengalami kontraksi sebesar 3,49 persen,” ujar Kepala BPS Suhariyanto dalam paparan Pertumbuhan Ekonomi Kuartal III 2020, Kamis (5/11).
Sebelumnya, Presiden Jokowi sudah memperkirakan bahwa Indonesia akan mengalami resesi. Hal tersebut disampaikannya dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/11).
“Di kuartal III kita juga mungkin sehari-dua hari ini akan diumumkan oleh BPS juga masih berada di angka minus, perkiraan kita di angka minus tiga. naik sedikit. dan ini memang kalau dibandingkan dengan negara lain ya masih jauh lebih baik. Tapi ini patut kita berikan tekanan untuk yang kuartal IV. Jadi kuartal III minus tiga lebih sedikit dan itu adalah trennya membaik, trennya positif,” ungkap Jokowi saat itu.
Baca Juga: Korupsi Pembangunan Gereja di Papua
Dampak Bagi Indonesia
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara membeberkan beberapa dampak yang mungkin terjadi di masyarakat setelah Indonesia masuk jurang resesi.
Yang pertama adalah akan terjadinya penurunan pendapatan di kelompok masyarakat kelas menengah dan bawah secara signifikan. Hal ini akan memunculkan orang miskin baru.
“Desa akan jadi tempat migrasi pengangguran dari kawasan industri ke daerah-daerah karena gelombang PHK massal,” ujar Bhima, Kamis (5/11).
Yang kedua adalah angkatan kerja baru akan semakin sulit bersaing karena lowongan pekerjaan menurun. Kalaupun ada perekrutan, maka perusahaan biasanya akan mengutamakan karyawan lama ataupun yang sudah berpengalaman.
Yang ketiga adalah menurunnya daya beli masyarakat. Menurutnya, masyarakat akan cenderung berhemat, menghindari membeli barang kebutuhan sekunder dan tersier, dan hanya fokus kepada barang kebutuhan pokok serta kesehatan.
Dampak yang terakhir, menurutnya, adalah meningkatnya konflik sosial di masyarakat karena ketimpangan akan semakin lebar.
“Orang kaya bisa tetap survive selain karena aset masih cukup juga karena digitalisasi. Sementara kelas menengah rentan miskin tidak semua dapat melakukan WFH, disaat yang bersamaan pendapatan menurun,” ungkapnya.