Koteka Papua Bukan Pakaian Biasa
beritapapua.id - Koteka Papua Bukan Pakaian Biasa - iStock

“Sebagian orang mungkin mempertanyakan fungsi dan kemampuan koteka Papua sebagai pakaian. Benda yang kerap disebut sebagai pelindung penis itu bukan sekadar pakaian.”

Koleksi etnografi Papua satu ini memang unik. Sebagian orang mungkin mempertanyakan kemampuan koteka sebagai pakaian. Terlebih, sejumlah referensi asing menyebut benda ini sebagai penish sheath atau penish gourd yang dalam bahasa Indonesia adalah pelindung penis. Jelas berbeda dengan pelindung kemaluan yang biasa digunakan atlet tarung bebas atau atlet bela diri zaman ini. Hal ini disebabkan karena koteka bukanlah sekadar pakaian. Bagi masyarakat Papua, koteka memiliki makna yang dalam.

Secara umum, selain sebagai pakaian, koteka memiliki fungsi sebagai penanda status sosial dan simbol perlawanan. Koteka merupakan pakaian yang Pegunungan papuadigunakan sebagian masyarakat Papua, khususnya mereka yang mendiami dataran tinggi seperti Pegunungan Tengah Papua. Beberapa suku yang masih mengenakan koteka hingga saat ini antara lain Suku Mee dan Moni di wilayah adat Mee Pago dan wilayah Suku Lani, Suku Dani, Suku Yali, Suku Katengban, dan Suku Ngalum di wilayah La Pago.

Koteka sendiri berasal dari bahasa Mee yang artinya pakaian. Dahulu, benda ini disebut Ekagi atau Ekari. Berbeda lagi dengan Suku Dani di Lembah Baliem yang menyebut koteka dengan sebutan holim. Suku Dani baru mengenal nama koteka pada tahun 1940-an hingga 1950 setelah guru sekolah pemerintahan Belanda menyebut holim dengan sebutan koteka.

Pakaian adat masyarakat Papua ini terbuat dari bahan alami, yakni labu. Labu yang baru tumbuh beberapa bulan setelah ditanam diikat dengan batu untuk dibentuk. Proses ini akan menyesuaikan dengan penggunanya karena bentuk koteka menandakan status sosial penggunanya. Misal, koteka Papua berbentuk melengkung hanya dikenakan oleh mereka yang memiliki pengaruh dalam masyarakat.

Baca Juga: Destinasi Asyik Liburan Di Teluk Bintuni

Koteka Papua: Status Sosial dan Lambang Perlawanan

“Koteka yang ujungnya melengkung ke depan (kolo) di sandang oleh Ap Kain atau pemimpin klan. Golongan menengah mengenakan koteka yang ujungnya melengkung ke samping (haliag). Mereka di antaranya adalah Ap Menteg (panglima perang) dan Ap Ubalik (tabib dan pemimpin adat). Sedangkan yang bentuknya tegak lurus boleh digunakan masyarakat biasa,” ujar Ibiroma, pelajar adat dan budaya di Jayapura, melansir dari historia.id.

Melalui koteka Papua, masyarakat adat Papua sudah mengenal kelas sosial. Bentuk koteka menggambarkan peran serta status seorang warga di dalam komunitas tersebut. Dalam masyarakat adat Papua, koteka melekat dengan pemiliknya. Anak berumur tahun mulai diperkenankan untuk mengenakan koteka  dan tak akan diganti hingga rusak.

Selain menunjukkan kelas sosial, koteka digunakan sebagai lambang perlawanan. Makna perlawanan di sini ialah resistensi budaya terhadap kekuatan kultural non-Papua yang kian menggerus. Dalam masyarakat modern, koteka justru dianggap sebagai lambang keterbelakangan, primitif, dan kebodohan. Untuk itu, dalam acara budaya seperti Festival Lembah Baliem, koteka kembali diperkenalkan. Tujuannya adalah mengembalikan kepercayaan diri dan identitas masyarakat adat yang sempat hilang.

Tergerusnya Koteka

Sejak zaman penjajahan Belanda, dorongan untuk meninggalkan kebiasaan menggunakan koteka sudah digaungkan. Pemerintah Kolonial mengimbau kepada mereka yang ingin sekolah agar menggunakan pakaian lengkap, bukan koteka. Namun seiring berjalannya waktu, misionaris Belanda tak mempermasalahkan persoalan pakaian. Ini dapat dilihat dari jemaah sejumlah gereja Katolik masih mengenakan koteka saat misa.

Pada masa Orde Baru, pada tahun 1971-1974 pemerintah melancarkan Operasi Koteka dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua. Program yang diinisiasi oleh Brigadir Jenderal Acub Zainal, panglima Kodam XVII/Cendrawasih sekaligus wakil ketua Badan Pelaksana Pembangunan Daerah Irian Barat, dan segera disetujui Jakarta ini berupaya menggantikan koteka dan pakaian adat lainnya dengan pakaian yang digunakan oleh masyarakat modern, seperti kaos dan celana.

“Diproyeksikan kebudayaan koteka akan hilang dari muka bumi Irian Barat pada 1973,” ujar Acub Zainal dilansir Kompas, 4 Agustus 1971.

Terang, program gabungan sipil dan militer ini menimbulkan perlawanan masyarakat setempat. Wartawan foto asal Amerika Serikat, Wyn Sargent, mengungkapkan kekerasan yang terjadi kala program penghapusan koteka itu dilancarkan. Aksi penyitaan, perampasan, dan pembakaran pakaian adat menjadi catatan kelam pada laporan kerja program tersebut. Bahkan, wartawan asal Amerika tersebut mengatakan terjadi pembunuhan.

Aksi perlawanan dan penolakan masyarakat Baliem terekam dalam salah-satu surat kabar, yakni Papua New Gini. Menanggapi hal tersebut, pihak militer segera menangkap kepala suku Ukomeheri dan Ikimaben, yang disusul oleh kabar kematian Ikimaben pada 10 Maret 1973. Hal ini memicu amukan warga yang berujung pada kegagalan Operasi Koteka.

Setelah kejadian itu, pemerintah memberhentikan pengadaan pakaian dan peralatan kebersihan.