Juru bicara Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro mengatakan MA tengah memfinalisasi pedoman pemidanaan tindak pidana korupsi (tipikor). “Pembahasannya saat ini sudah sampai pada tahap kesimpulan dan finalisasi rancangan pedoman pemidanaan tersebut selesai tahun ini,” sebut Andi melalui Keterangannya di Jakarta.
MA mengaku sudah membentuk kelompok kerja (Pokja) Penyusunan Pedoman Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi. Pembentukan Pokja diikuti oleh tim peneliti dari MaPPI FHUI. Dikatakan bahwa pembentukan Pokja pemidanaan tipikor adalah merupakan tindak lanjut dari permasalahan disparitas pemidanaan yang telah dibahas MA sejak tahun 1980-an. Pembentukan Pokja berdasarkan Keputusan Ketua MA RI Nomor 189/KMA/SL/IX/2018.
Andi mengatakan Pokja dan Tim MaPPI FHUI sudah beberapa kali mengadakan pertemuan termasuk dengan pihak terkait seperti Kejaksaan Agung, KPK, dan Kementerian Hukum dan HAM. “Dalam pedoman pemidanaan ini telah dipertimbangkan berbagai aspek pemidanaan, termasuk keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa, serta peran dan kadar kesalahan terdakwa,” ucap Andi dikutip dari CNNIndonesia.com.
Sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berharap MA segera menerbitkan standar pedoman pemidanaan perkara korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut hukuman koruptor masih rendah. Sepanjang 2019, rata-rata koruptor hanya dihukum 2 tahun 7 bulan pidana penjara.
Baca Juga: KPK Dalami Pertemuan Harun Masiku dengan KPU
Koruptor yang merugikan negara lebih sedikit dapat dihukum lebih berat
Selain itu ICW menemukan masih sering terjadinya disparitas vonis terhadap terdakwa korupsi. Pelaku yang kerugian keuangan negaranya lebih sedikit justru dihukum lebih berat ketimbang pelaku yang kerugian keuangan negaranya lebih banyak.
Pedoman pemidanaan yang diterbitkan MA dapat menjadi standar majelis hakim dalam memutus perkara (sentence guideline) tindak pidana korupsi. Selain rendahnya vonis yang dijatuhkan pengadilan, ICW menyoroti masih rendahnya tuntutan yang diberikan kepada terdakwa. Kejaksaan saat berposisi sebagai penuntut, rata-rata terdakwa korupsi dituntut hukuman 3 tahun 4 bulan penjara, sementara tuntutan penuntut KPK rata-rata selama 5 tahun 2 bulan.
Untuk putusan, kasus yang ditangani kejaksaan rata-rata divonis 2 tahun 5 bulan penjara dan perkara korupsi yang ditangani KPK rata-rata divonis 4 tahun 1 bulan penjara. ICW menilai kejaksaan maupun KPK belum maksimal memulihkan kerugian keuangan negara akibat korupsi.