Bagi mereka yang berjuang menembus seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), maka lambang negara tidaklah asing. Sudah sepatutnya bukan hanya mereka yang bergelut dengan CPNS yang paham soal lambang negara, namun seluruh warga Indonesia. Meski menjadi materi dalam seleksi pekerjaan idaman sejuta umat itu, tak sedikit yang tahu soal perancang lambang negara.
Sosok perancang lambang negara Indonesia itu memiliki kisah yang kelam. Sebagaimana ungkapan seorang pepatah, ‘sejarah dibuat oleh mereka yang menang’, kisahnya kerap dilupakan oleh bangsa. Ia dituduh bersekongkol dengan para pemberontak KNIL yang hendak membunuh Sultan Hamengkubuwono.
Setelah dinilai bekerja di bawah naungan Westerling, sang perancang lambang negara dihukum 10 tahun penjara. Pamornya sebagai perancang lambang negara luntur bersama kepercayaan para elit negara lantaran penghianatannya. Ia adalah Sultan Hamid II, mantan menteri negara dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dituduh ingin membunuh Sultan Hamengkubuwono.
“Dia dilupakan, karena dituduh terlibat peristiwa Westerling, termasuk ingin membunuh Sultan Hamengkubowo (Menteri Pertahanan saat itu),” kata sejarahwan Taufik Abdullah dikutip dari BBC Indonesia, (02/06), 2015.
Kisah ini menuai Polemik. Beberapa warga negara Indonesia tidak sudi nama dari seorang perancang lambang negara seakan dihilangkan dari sejarah. Sebagian lainnya melakukan penelusuran secara akademis yang menguak kenyataan bahwa vonis penghianat yang dilekatkan pada Sultan Hamid II tidaklah benar.
Lantas, bagaimana kenyataannya?
Baca Juga: Olahraga Bouldering, Ekstrim Tapi Menyenangkan
Sultan Hamid II dan Polemik Penghianat Bangsa
Sultan Hamid tidak dikubur di area makam pahlawan. Peristiwa Westerling di Bandung telah mencoreng muruahnya sebagai salah satu tokoh pergerakan bangsa. Meski burung garuda besutannya hingga kini terpampang sebagai simbol negara, namun nestapa yang kini ia dera.
Nama lengkapnya ialah Syarif Abdul Hamid Alkadrie. Pria yang dikenal sebagai Sultan Hamid II ini diberi tugas oleh Presiden Soekarno untuk merancang lambang negara. Ia kemudian membentuk panitia perancangan lambang negara yang diketuai oleh dirinya. Konsepnya berhasil menarik perhatian Soekarno. Rancangan Lambang Negaranya menggeser rancangan milik Muhammad Yamin.
Meski kisah kelam perihal pengkhianatannya terhadap bangsa menjadi wajah dari sosok perancang lambang negara ini, jasanya tetap diakui. Ini diungkapkan oleh Rusdi Hoesin sebagaimana dikutip dari BBC Indonesia.
“Sultan Hamid sudah resmi diakui dalam jasanya membuat lambang burung Garuda,” kata peneliti sejarah politik kontemporer Indonesia, Rusdi Hoesin.
Pengakuannya sebagai pahlawan bangsa tak lepas dari usaha cendekiawan pasca reformasi yang tidak puas dengan sejarah. Mereka adalah Anshari Dimyati dan Turiman Fachturrahman, penggawa yang mengungkap kejanggalan kisah Sultan Hamid II.
Menurut Anshari, Ketua Yayasan Sultan Hamid II, melalui penelitian tesis master di Universitas Indonesia ia meluruskan sejarah. Berdasarkan penelitiannya, Sultan Hamid II bukanlah dalang dari peristiwa Westerling.
“Sultan Hamid II memang mempunyai niat untuk melakukan penyerangan dan membunuh tiga dewan Menteri RIS, tapi tidak jadi dilakukan dan penyerangan pun tidak terjadi. Itu yang harus diluruskan,” kata Anshari Dimyati.
Begitu pula dengan Turiman. Ia berperan dalam menelusuri naskah otentik rancangan lambang garuda yang dibuat oleh Sultan Hamid II.
Anshari dan Turiman kemudian melakukan penelitian lebih dalam. Hasilnya, mereka menyimpulkan bahwa Sultan Hamid II adalah korban kampanye hitam. Mereka berharap dapat meluruskan sejarah mengenai jasa sang perancang lambang negara.