Pangan Lokal Sebagai Bentuk Ketahanan Pangan Daerah
beritapapua.id - Kebun Mama Papua yang diberdayakan sebagai ketahanan pangan di Teluk Bintuni. Foto: Yohanes Akwan.

Masyarakat mulai sadar akan dampak dari wabah pandemi Covid-19 yang diprediksi berimbas pada kondisi ketahanan pangan nasional. Kondisi ini memantik gerakan di berbagai daerah terutama daerah timur Indonesia untuk kembali memberdayakan pangan lokal sebagai bentuk ketahanan daerah.

Masyarakat Indonesia timur sewajarnya telah fasih lidah dengan berbagai sumber karbohidrat selain nasi. Sagu dan berbagai umbi-umbian seperti keladi, ubi jalar serta singkong telah hadir sebagai makanan pokok mereka.

Salah satu warga di Teluk Bintuni, Papua Barat, pernah berseloroh mengenai ketahanan pangan daerah mereka “kalaupun tidak ada nasi, kami di Bintuni ini kalau mau saja tidak bingung. Belakang rumah sudah ada betatas, kasbi dan sagu. Ke hutan mangrove sudah ada kepiting, ikan, sama udang. Jadi mau bingung apa?” ujarnya.

Tidak salah anggapan ini. Budaya mengonsumsi nasi sebagai sumber karbohidrat memang sudah lama masuk ke daerah timur Indonesia. Tapi sagu dan umbi-umbian tak pernah luput sebagai bagian dari tradisi kuliner lokal yang menjadi bagian dari keseharian juga.

Kini dengan adanya pandemi Covid-19 yang mulai menghantam berbagai sektor secara nasional, kekhawatiran akan krisis pangan pun muncul. Petani dan peternak seakan tak berdaya dengan ambruknya sektor-sektor pariwisata yang biasanya menyerap hasil produksi mereka.

Hal ini kemudian disikapi secara bijak oleh beberapa daerah, di Papua dan Papua Barat. Inisiasi swadaya masyarakat yang memasifkan gerakan untuk menanam pangan lokal, mendapat berbagai apreasiasi dari masyarakat.

Baca Juga: Memaknai Hantaran Rasa Lewat Bahasa Melalui Polemik Nasi Anjing

Pangan Lokal Sebagai Percontohan Nasional

Ketahanan pangan tidaklah boleh menjadi suatu masalah. Dengan potensi alam serta kefasihan masyarakat dalam mengelola berbagai kuliner lokal, seharusnya penyerapan hasil kebun tidak akan stagnan.

Umbi-umbian serta buah dan sayur yang gampang kita temui sebagai hasil pertanian lokal, harus bisa lebih dimaksimalkan. Cara pandang dalam melihat pangan lokal ini harus diubah. Bahkan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo pada berbagai kesempatan mengemukakan hal ini, terutama sagu sebagai subtitusi dari nasi.

Sagu dianggap sebagai potensi sumber pangan yang adaptif serta penyelamat pangan masa depan. Daerah Indonesia timur, dengan kultur asal kuliner ini, mampu berdiri sebagai pioneer.

Dengan mengembangkan dan memberdayakan hasil pertanian pangan lokal ini, roda perekonomian daerah bisa akan terus berputar. Pemerintah perlu melakukan sebuah intervensi sebagai oli dalam pergerakannya. Swadaya masyarakat yang disinergikan dengan peraturan dan kebijakan yang tepat, bisa menjadi senjata dalam melawan krisis pangan.

Mari kita kembali mengonsumsi sagu dan umbi-umbian sebagai sumber pangan keseharian kita. Mengembalikan tradisi kuliner ke tempatnya semula. Tra makan nasi, tra masalah.