Papua memiliki tiga perkebunan kopi yang menarik untuk dijadikan sebagai tempat ekowisata. Perkebunan kopi di kabupaten Dogiyai, Paniai, dan Deiyai merupakan penghasil biji kopi terbaik dari Papua. Perkebunan yang terletak di dataran tinggi tersebut memiliki struktur tanah vulkanik yang sangat cocok sebagai media untuk menghasilkan produk biji kopi berkualitas.
Potensi ini sangat baik jika dikembangkan untuk wisata, menjelajah perkebunan kopi sekaligus bisa belajar dan melihat langsung bagaimana prosesnya. Selain itu, wisatawan bisa menjelajah dan mengetahui proses produksi kopi dari mulai pembibitan sampai menjadi biji kopi.
Baca Juga: Bumdes Perlu Payung Hukum Menurut Yance Samonsabra
Hanok Herison, Master Trainer Kopi Arabika Nasional
“Perlu ada yang menginisiasi untuk dapat menerima hal-hal baru,” tutur Hanok Herison. Dia menyarankan agar pemerintah dan masyarakat berkolaborasi untuk mengadakan berbagai acara, sehingga wisatawan tertarik untuk datang ke sana.
Hanok Herison, menambahkan “Kita harus mengembangkan potensi anak muda. Paniai, Dogiyai, dan Deiyai memiliki setidaknya 14 ribu lulusan sarjana, tetapi fokusnya ingin jadi PNS dan semua ingin jadi Caleg.” dalam acara tersebut. Hanok menilai, generasi muda Papua harus memiliki jiwa berbisnis untuk mengembangkan produk ini. Hal ini menjadi tantangan dalam menumbuhkan jiwa berbisnis pada generasi muda Papua.
Untuk diketahui, Hanok Herison menceritakan, asal bibit kopi di tiga perkebunan kopi di Papua itu, pertama kali dikenalkan oleh misionaris Belanda pada 1950-an. Tahun 1968, buah kopi kian melimpah. “Para misionaris Belanda waktu itu punya pesawat cessna yang membawa kopi keluar untuk dijual,” tuturnya.
Terutama di Perkebunan Kopi Dogiyai yang tak dapat ditempuh dengan perjalanan darat, maka pesawat cessna menjadi solusi transportasi di sana. Sayangnya, setelah periode itu para misionaris Belanda memutuskan meninggalkan Papua. Sejak itu nasib perkebunan kopi tadi tak jelas. “Padahal di tahun 1982 sampai 1996 itu produksinya begitu pesat,” ujarnya.
Menurut Hanok, salah satu yayasan milik misionaris, yakni P5 di Moanemani yang saat itu menampung sampai 10 ton kopi tidak bisa terjual. Selama tak ada pasar untuk penjualan, kopi-kopi itu kemudian dihancurkan. “Sekarang masih ada beberapa petani kopi yang bertahan meski pengasilan mereka tak seberapa,” kata Hanok.