Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) Papua Barat mendorong gerakan satu distrik (kecamatan) satu ahli gizi untuk menekan angka stunting atau tengkes.

Persagi Papua Barat Andry Parinussa mengatakan, angka tengkes di Papua Barat saat ini mencapai 30 persen.

Angka itu kata Andry Parinussa, perlu ditangani secara serius dengan intervensi para ahli gizi.

Sehingga, target Pemerintah Indonesia untuk menurunkan prevalensi tengkes menjadi 14 persen pada 2024 bisa tercapai.

“Papua Barat diberikan target 18 persen (angka tengkes) untuk tahun 2024. Jadi, para ahli gizi yang sudah ada ini harus dimanfaatkan secara maksimal,” kata Andry Parinussa dilansir TribunPapuaBarat.com di Manokwari, Minggu (29/1/2023).

Dikatakannya, beberapa provinsi lain di Indonesia telah menggalakkan satu desa/kampung satu ahli gizi.

Lantaran peran ahli gizi sangat vital untuk membantu menekan angka tengkes melalui langkah promotif, preventif dan kuratif.

Disebutkannya, Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat menjadi contoh kekurangan ahli gizi berujung angka stunting sangat tinggi mencapai 51,5 persen.

“Memang stunting ini banyak faktor penyebabnya. Tetapi kalau kita evaluasi, memang di Arfak ahli gizinya tidak lebih dari 10 orang,” tutur Andry Parinussa.

Ia menjelaskan, peran krusial seorang ahli gizi di satu distrik atau satu kampung terutama ketika anak sedang dalam terapi gizi.

Setelah dokter spesialis anak atau dokter umum menetapkan jenis diet untuk sang anak, maka ahli gizi yang menerjemahkannya dalam terapi gizi.

Termasuk menghitung kebutuhan asupan gizi dan memantau pemberian makanan kepada anak.

“Edukasi perilaku itu tidak mudah, makanya kehadiran ahli gizi di tengah masyarakat itu bisa beri contoh untuk ditiru sekaligus memantau,” tutur Andry Parinussa.

Ia menegaskan, ahli gizi tidak dapat bekerja sendirian untuk melawan tengkes.

Di kampung, misalnya, ahli gizi bersinergi dengan pemerintah kampung, tim pendamping keluarga, kader posyandu dan kader pembangunan masyarakat.

Sebab di daerah dengan jumlah tenaga gizi memadai pun tak luput dari kenaikan angka balita menderita tengkes.

Kabupaten Manokwari dan Kota Sorong, berturut-turut prevalensi tengkes pada 2022 tembus di angka 36,6 persen dan 27,2 persen.

Hal tersebut menurut dia disebabkan ketidakpatuhan para ibu membawa sang anak ke posyandu untuk mengecek tumbuh kembangnya.

“Penduduk tidak tetap biasanya ketika bawa anaknya malah sudah dalam kondisi gizi buruk kronis atau stunting,” jelasnya.

Oleh sebab itu, sambung dia, pendekatan pentaheliks tetap menjadi cara terbaik percepatan penurunan stunting.

Melibatkan pemerintah, masyarakat, akademisi, pelaku usaha, media.

Sementara Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menjadi koordinator tim percepatan penurunan stunting.
“Lintas sektor dan lintas program ini harus bekerja maksimal sesuai tupoksinya (tugas pokok dan fungsi). Selama ini mungkin masih kurang tepat sasaran,” pungkas Andry Parinussa.

Diketahui, angka stunting atau tengkes di Provinsi Papua Barat naik menjadi 30,0 persen pada 2022, atau naik 3,8 persen dari tahun sebelumnya.

Angka ini membuat Papua Barat menempati urutan keenam nasional sebagai provinsi dengan angka tengkes tertinggi.

Sementara standar angka tengkes dari organisasi kesehatan dunia (WHO) hanya sebatas 20 persen.

Dari 7 kabupaten di Papua Barat dan 6 kabupaten/kota di Papua Barat Daya, tak ada satupun yang angka tengkesnya tepat 20 persen atau di bawah itu.

Dengan kata lain, semua daerah di wilayah Kepala Burung Papua, masih kategori tinggi untuk prevalensi tengkes atau gagal tumbuh kembang karena kurang gizi pada anak.