Polemik Mengenai RUU Larangan Minuman Beralkohol – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly meminta masyarakat tidak perlu berpolemik berlebihan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol.
Yasona berkata bahwa RUU tersebut masih sebatas rencana yang diajukan ke Badan Legislasi DPR sehingga belum resmi menjadi usul inisiatif DPR.
“RUU ini juga belum resmi sebagai usul inisiatif DPR, masih sebatas rencana yang diajukan ke Baleg. Karenanya, saya berharap tidak perlu ada polemik berlebihan terkait RUU Larangan Minuman Beralkohol ini di tengah masyarakat,” kata Yasonna, Senin (16/11).
Ia juga menegaskan bahwa RUU ini masih dalam tahap pembahasan, dan proses kajiannya masih panjang. Pemerintah sendiri belum memutuskan untuk memasukkan RUU tersebut ke Program Legislasi Nasional 2021 karena RUU itu sendiri belum resmi menjadi usul DPR.
“Kami mendengar Badan Legislasi DPR sendiri belum satu bahasa terkait RUU Larangan Minuman Beralkohol ini. Karenanya, Pemerintah masih dalam posisi melihat dulu bagaimana perkembangannya,” kata Yasonna.
Baca Juga: Prajurit TNI Ditetapkan Sebagai Tersangka Pembakaran di Papua
RUU Larangan Minuman Beralkohol Berpotensi Timbulkan Kesewenangan
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai RUU Larangan Minuman Beralkohol tidak perlu dibahas di DPR. ICJR berpendapat bahwa pelarangan bagi minuman beralkohol dapat memberikan dampak negatif bagi peradilan pidana Indonesia.
ICJR mengatakan salah satu dampaknya adalah pasar minuman beralkohol akan dikuasai oleh pedagang dan pasar gelap.
Selain mendapatkan kritik, RUU ini juga mendapatkan penolakan. Salah satunya dari Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT). Kepala Biro Humas dan Protokol Setda NTT Marius Ardu Jelamu mengatakan bahwa NTT mempunyai minuman tradisional yang mengandung alkohol seperti sopi dan moke. Marius beranggapan bahwa RUU ini justu akan menghancurkan budaya dan juga ekonomi masyarakat.
“Bagi masyarakat timur, ini akan menghancurkan budaya kita dan juga mengganggu ekonomi masyarakat. Kita lihat, di NTT, (pohon) lontar, enau ada di mana-mana. Dan itu jadi sumber ekonomi masyarakat. Dan nenek moyang kita mewariskan minuman ini sebagai minuman budaya, bukan untuk mabuk-mabukan,” katanya.
“Di dalam acara adat, dibuka dengan minuman ini. Ini simbol dari persahabatan, persaudaraan, simbol persatuan keluarga, dan simbol kegotongroyongan dan kebersamaan. Dan ini akan mengganggu, tak hanya soal budaya, tapi juga ekonomi, supply chain, mengganggu distribusi pemasaran,” sambungnya.
Ia pun meminta Baleg DPR agar menampung seluruh aspirasi dari masyarakat Indonesia terkait RUU ini.