Retaliasi Melalui Serangan Umum 1 Maret – Yogyakarta pada tahun 1949 merupakan Ibu kota Negara Republik Indonesia. Dipindahkannya Ibu kota negara dari Jakarta ke Yogyakarta pada tahun 1946, adalah dengan alasan keamanan. Paska proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Belanda melakukan Agresi Militer Kedua yang cukup memporak porandakan kondisi dan stabilitas Indonesia kala itu. Perpindahan Ibu kota merupakan bagian dari strategi keamanan dan politik, namun menurut beberapa pihak, hal ini tidak dipersiapkan dengan matang.
Agresi Militer II Belanda, mengakibatkan kondisi Ibu kota Yogayakarta sangat kacau. Pada tahun 1949, Yogyakarta berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Korban jiwa dari kalangan militer dan sipil berjatuhan tanpa hentinya. Ibu kota telah jatuh dan dikuasai oleh Belanda. Agresi Belanda sebagai bentuk pengkhianatan terhadap Perjanjian Damai Renville ini, harus dibalas dengan sebuah retaliasi, bentuk balas dendam, untuk membuka kembali pengakuan internasional kepada Indonesia.
Melihat kondisi Ibu kota yang begitu kacau, Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai raja Yogyakarta naik pitam. Sebuah tindakan harus diambil dengan segera. Hamengkubuwono pun menghubungi Jenderal Soedirman untuk mengatur strategi dan taktis, untuk melakukan operasi militer gabungan. Gayung bersambut, Jenderal Soedirman menerima usulan Hamengkubuwono dengan melakukan koordinasi militer untuk menggabungkan kekuatan militer dan sipil sebagai bentuk perlawanan.
Hamengkubuwono, Jenderal Soedirman dan Soeharto

Baca juga: Gelar Festival Makan Papeda Tahun 2021 di Kampung Abar Papua
Perlawanan yang diusulkan oleh Hamengkubuwono ini, selaras dengan rencana petinggi militer Indonesia untuk melakukan serangan kejutan dan merebut kembali Ibu kota. Pada awal Februari 1948, Letkol Wiliater Hutagalung yang pada saat itu menjabat sebagai Perwira Teritorial, mengusulkan kepada Jenderal Soedirman, mengenai perlunya Indonesia untuk meyakinkan dunia, tentang eksistensi negara. Hal ini dikarenakan propaganda Belanda yang pada saat menguasai Ibu kota Yogyakarta, telah menyatakan Indonesia sudah tidak ada.
Gerilya demi gerilya pun dilakukan oleh kekuatan militer Indonesia. Hingga akhirnya pada saat Hamengkubuwono melakukan usulan operasi militer besar-besaran, maka strategi lebih matang pun dipersiapkan. Hamengkubuwono kemudian menunjuk Letnan Kolonel (Letkol) Soeharto (Presiden Kedua Indonesia – RED) untuk memimpin operasi militer ini. Soeharto pada saat itu didapuk sebagai komandan tertinggi pasukan gabungan untuk menyerang Yogyakarta dan melumpukan Belanda.
Serangan Umum 1 Maret
Tepat tanggal satu Maret 1949, serangan dilakukan dimulai dari Malioboro, Yogyakarta dan menyisir ke arah barat. Serangan kejutan ini membuat Belanda kalang kabut. Yogyakarta berhasil direbut kembali. Kabar disiarkan ke seluruh penjuru negeri dan internasional. UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan wartawan-wartawan asing berperan dalam hal ini. Indonesia masih ada dan kembali dengan kekuatan penuh. Meskipun Yogyakarta hanya bisa dikuasai oleh Indonesia selama kurang lebih enam jam. Tetapi mampu membuktikan kepada dunia, bahwa eksistensi NKRI masih sangat kuat.
Sumber:
Kompas.com – Serangan umum 1 Maret 1949
Wikipedia – Serangan Umum 1 Maret