Tak dilibatkan MoU, TPNPB ancam lakukan 'operasi besar-besaran'
beritapapua.id - Pasukan TPNPB-OPM. (Foto: Kasksu)

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB – OPM) menyatakan menolak Nota Kesepahaman (MoU) Jeda Kemanusiaan Bersama yang ditandatangani Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), United Liberation Movement for Papua (ULMWP), Majelis Rakyat Papua (MRP), dan Dewan Gereja Papua (DGP) di Jenewa Swiss, pada 11 November lalu.

Mereka beralasan karena ‘tidak melibatkan aktor utama konflik perang di Papua’.
Pengamat menilai pihak-pihak yang berkonflik, seperti TPNPB-OPM dan TNI/Polri ‘harus segera dilibatkan’, jika tidak konflik tidak akan selesai.

TPNPB – OPM mengatakan nota kesepahaman itu dilakukan secara sepihak. Oleh sebab itu, mereka ‘menolak dialog Jakarta-Papua yang sedang dan akan di lakukan di Genewa, Swiss (MoU Jeda Kemanusiaan)’.

Mereka menyatakan akan melakukan tindakan lebih lanjut jika pernyataan sikapnya tidak diakui atau diabaikan.

“Kami akan eksekusi mati orang-orang yang mengatasnamakan Papua untuk dialog Jakarta-Papua bersama Komnas HAM RI serta melakukan operasi besar-besaran di seluruh wilayah Papua yaitu Sorong sampai Merauke, dan kami tidak main-main, tetapi kami akan lakukan hal itu,” kata Panglima Kodap VIII Intan Jaya Undius Kogeya dalam sebuah video yang dilansir dari BBC News Indonesia pada Sabtu (19/11/2022) malam.

TPNPB – OPM juga mengumumkan bakal mengeluarkan dua dekralasi umum pada 1 Desember mendatang.
Salah satu poin deklarasi adalah mengumumkan “perang revolusi total untuk usir pendudukan ilegal Pemerintah Kolonial Republik Indonesia di atas Tanah Leluhur Bangsa Papua”.

Direktur Eksekutif ULMWP Markus Haluk Sudah Terima Pernyataan TPNPB-OPM

Beka Ulung Hapsara, mantan Komisioner Komnas HAM yang ikut dalam penandatanganan nota kesepahaman itu menolak mengomentari respons TPNPB – POM, dan meminta BBC News Indonesia untuk menanyakan hal itu kepada “kawan-kawan di Papua karena mekanisme sosialisasi mitra-mitra strategis di Papua’ dilakukan oleh UMLWP, MRP, dan Dewan Gereja Papua (DGP)”.

Ketua MRP Timotius Murib pun hanya memberikan jawaban melalui pesan singkat. “Maaf sebenarnya belum bisa publikasi lobi-lobi Jeda Kemanusiaan yang sedang dilakukan saat ini . Penolakan TPNPB ini atas dasar isu, bukan atas dasar suatu sosialisasi sehingga kami belum bisa tanggapi,” kata Murib dilansir dari BBC News Indonesia, Minggu (20/11).

Sementara itu, Direktur Eksekutif ULMWP Markus Haluk mengaku sudah menerima dan membaca pernyataan dari TPNPB – OPM itu.

“TPN/OPM sejak 2014 mendukung penuh ULMWP. Pasca penandatanganan tetap akan koordinasi internal Papua dengan berbagai kalangan,” kata Haluk dilansir dari BBC News Indonesia.

Dia mengatakan Jeda Kemanusiaan Bersama merupakan langkah awal membangun komitmen bersama para pihak untuk menuju perundingan damai.

Peneliti isu Papua Adriana Elisabeth menilai wajar TPNPB-OPM menyampaikan hal itu, sebagai respons dari penandatanganan nota kesepahaman yang tidak melibatkan mereka sebagai pihak yang berkonflik di lapangan, bersama dengan TNI/Polri.

Koordinator Jaringan Damai Papua itu mengatakan kalaupun nota kesepahaman itu disebut sebagai inisiatif awal, tetap saja itu baru bisa diimplementasi kalau pihak-pihak yang berkonflik diajak.

“Yang berkonflik bukan Komnas HAM kan, bukan ULMWP kan? ULMWP tidak berkonflik secara bersenjata kan? Dewan Gereja Papua juga tidak. Artinya pihak-pihak yang berkonflik itu harus tahu… Kalau tidak, tidak akan bedampak juga terhadap penyelesaian di lapangannya,” kata Adriana.

Jeda Kemanusiaan Bersama sebagai ‘awal perundingan damai’

Dalam sebuah keterangan tertulis yang disebarkan pada 14 November lalu, Komnas HAM, ULMWP, MRP, dan DGP menandatangani nota kesepahaman untuk melaksanakan Jeda Kemanusiaan Bersama, pada wilayah tertentu di Tanah Papua.

“Jeda Kemanusiaan Bersama bertujuan untuk menargetkan pemberian bantuan kemanusiaan kepada warga sipil yang terjebak dalam wilayah konflik bersenjata dan warga sipil yang mengungsi akibat konflik bersenjata di kawasan dan waktu tertentu melalui sebuah Koridor Kemanusiaan yang akan dikemukakan pada waktu akan datang,” tulis delegasi ULMWP dalam keterangan persnya.

Kepastian atas pemenuhan hak-hak dasar para tahanan dan narapidana juga termasuk dalam nota kesepahaman itu.

Jeda Kemanusiaan Bersama dikatakan sebagai upaya untuk mendorong “penghentian sementara permusuhan dan kekerasan, demi mendukung proses penjajakan menuju perundingan damai, atas konflik berkepanjangan di Tanah Papua”— yang sudah berlangsung selama 59 tahun.

Secara umum, nota kesepahaman itu mengatur tentang prinsip, prosedur, dan mekanisme pelaksanaan.
Selama pelaksanaan Jeda Kemanusiaan Bersama, para pihak yang terlibat konflik bersenjata dapat menyediakan “Koridor Kemanusiaan” sebagai rute yang aman bagi penyalururan bantuan dan akses Tim Jeda Kemanusiaan.

“Tim Jeda Kemanusiaan akan diusulkan oleh para pihak untuk melakukan pengarahan dan peninjauan atas pelaksanaan Jeda Kemanusiaan,” kata Markus Haluk dilansir dari BBC News Indonesia.

Para pihak yang dimaksud adalah keempat organisasi atau lembaga yang menandatangani nota kesepahaman.

“Pelaksanaan Jeda Kemanusiaan akan dievaluasi oleh para pihak dalam pertemuan penjajakan keempat setelah batas waktu Jeda Kemanusiaan berakhir,” tambah Haluk.
Kembali mengutip keterangan tertulis ULMWP: “Para pihak yang terlibat konflik bersenjata wajib menjunjung tinggi prinsip non-agresi, dan tidak melakukan provokasi yang bertujuan untuk menciptakan pertempuran baru di Tanah Papua. Semoga pelaksanaan Jeda Kemanusiaan Bersama didukung dan dilaksanakan.”

‘Jadi serangan balik’

Peneliti menilai penandatanganan nota kesepahaman seharusnya melibatkan pihak-pihak yang berkonflik di lapangan, yaitu TPNPB dan TNI/Polri.

Juru Bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom menilai kelompok yang menandatangani nota kesepahaman itu sebagai “orang-orang lucu” karena mereka sudah tahu yang berperang di Papua adalah TNI/Polri dan TPNPB-OPM, tapi tetap saja tidak dilibatkan.

Oleh sebab itu, dia mengatakan nota kesepahaman itu “sia-sia” karena pihak-pihak yang menandatanganinya “tidak memiliki kekuatan”.

“Kami tidak butuh kelompok-kelompok yang bilang jeda kemanusiaan, itu bukan kerjanya mereka, bukan levelnya. Kami kan meminta Komite Palang Merah Internasional yang harus turun tangan, karena aturan internasional (di wilayah perang) dijamin hukum PBB,” kata Sebby dilansir dari BBC News Indonesia.

Adriana Elisabeth mengatakan nota kesepahaman Jeda Kemanusiaan Bersama seharusnya memang disepakati oleh pihak-pihak yang berkonflik, seperti TPNPB-OPM dan TNI/Polri, bukan pihak lain.

Kalaupun nota kesepahaman itu disebut sebagai inisiatif awal, Adriana mengatakan tidak perlu ada publikasi ‘sampai semua pihak paham dan bisa menentukan langkah selanjutnya’.

“Ini problematika di daerah konflik… Kalau ini belum dijalankan terus muncul di media, sudah pasti akan ada resistensi,” kata Adriana yang tergabung dalam Jaringan Damai Papua.

“Kalau seperti ini bisa jadi backfire (serangan balik) juga untuk yang menginisiasi MoU ini,” tambah dia.
Dia menambahkan, terlepas dari status kelompok bersenjata itu yang sudah dinyatakan teroris oleh pemerintah Indonesia, ‘mereka tetap harus diajak komunikasi’.
Menanggapi pernyataan TPNPB-OPM yang bernada ‘ancaman’ terhadap ‘orang-orang yang mengatasnamakan Papua’, Adriana mengatakan hal itu bisa terjadi, bisa juga tidak. Namun, dari beberapa kali pernyataan TPNPB-OPM, ancaman-ancaman yang mereka lontarkan bisa terealisasi.

Jaringan Damai Papua

Pada periode 2010-2011 lalu, Adriana mengatakan Jaringan Damai Papua pernah menggelar konsultasi publik sebagai upaya awal untuk menggelar dialog damai di Papua.

Cara kerjanya berbeda dengan upaya dialog yang diinisiasi Komnas HAM, Adriana dan timnya dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terlebih dahulu mendekati semua pihak dan memberikan pemahaman.

Baca Juga: Moeldoko: Jeli Manfaatkan Cuaca Guna Tingkatkan Tanam Pangan

“Waktu kami mendiskusikan soal dialog, itu kami bikin konsultasi publik di Papua di 26 tempat, ditambah berdiskusi dengan kelompok-kelompok pendatang di Jayapura, untuk memahami tentang dialog. Sebegitu panjangnya perjalanan,” kata Adriana.

Hasil diskusi itu kemudian disampaikan ke pemerintah pusat agar tercipta pemahaman tentang dialog seperti apa yang diinginkan masyarakat Papua.

“Enggak ada yang tahu kan pekerjaan kami. Jadi kerja gini enggak usah digembar-gembor. Kalau belum dijalankan dan sudah ada di media, sudah pasti akan ada resistensi… Pada masa-masa itu tidak ada konflik seperti sekarang, setidaknya tensinya tidak meningkat,” ujar Adriana.

Namun, proses itu tidak berlanjut sampai sekarang karena ada beberapa pihak dari pemerintah yang tidak sepakat dan “sudah masuk tahun politik”.

Pada 2017 lalu, Presiden Joko Widodo mendukung dialog sektoral untuk Papua. Dialog sektoral dilakukan untuk membahas suatu sektor atau bidang tertentu seperti pendidikan, kesehatan, hak asasi manusia, dan masalah lainnya.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan Adriana bersama beberapa peneliti lainnya selama bertahun-tahun, perdamaian adalah jalan yang paling baik untuk Papua, mengingat konfliknya sudah sangat panjang dan bahkan ketegangan dan kekerasan semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Proses mencapai titik damai itu harus dilakukan “melalui dialog”. Namun, Adriana mengatakan belum banyak pihak yang memiliki pemahaman yang sama tentang dialog damai.

Dia menyarankan dialog yang harus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat Papua, yang pro kemerdekaan, membahas tentang cara dan proses penyelesaian konflik, bukan dialog yang langsung berorientasi pada hasil akhir.