Veronica Koman Soal Pelanggaran HAM Papua – Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Veronica Koman membeberkan dugaan pelanggaran HAM yang terjadi dalam Gerakan West Papua Melawan 2019. Dugaan pelanggaran ini tertuang dalam laporan perjalanan pergerakan Papua Barat pada 2019 yang diterbitkan oleh TAPOL.
Mengutip dari CNN, Veronica mengatakan bahwa laporan ini didasarkan pada gerakan di 22 kota di Papua Barat, 17 kota di Indonesia, dan tiga kota di luar negeri selama periode 19 Agustus-30 September 2019.
“Laporan ini menunjukkan bahwa setelah serangkaian peristiwa yang menjadi pemicu, aksi demonstrasi spontan meledak di West Papua. Pihak yang berwenang juga menggunakan berbagai strategi untuk membendung, lalu menumpas aksi massa tersebut,” ucap Veronica.
Berbagai gerakan tersebut dipicu oleh tindakan rasis terhadap mahasiswa Papua Barat di Malang, pada 15 Agustus. Dan di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus serta di Semarang pada 18 Agustus.
Veronica juga menyebut bahwa laporan ini dapat memberikan gambaran lebih detail tentang isu rasisme, pembunuhan di luar hukum, kebebasan pers, pemadaman internet, pasal makar, penggunaan kekuatan berlebihan terhadap demonstran, hingga penggunaan milisi sipil.
Baca Juga: Dinas Pendidikan Papua Mempertahankan Bahasa Ibu
Tahanan Politik Dalam Laporan
Dalam laporan tersebut, tercatat ada 1.017 orang yang ditahan selama masa pergerakan. Dari angka itu ada sekitar 22 tahanan politik yang disebutkan dengan dugaan makar.
Sebelumnya, Veronica Koman sendiri tercatat sebagai salah satu tahanan politik bersama dengan Dandhy Laksono. Ia menjadi tersangka ujaran kebencian dan menyebarkan kebohongan atas insiden asrama Surabaya akibat cuitannya pada media sosial Twitter.
Veronica mencuitkan sejumlah seruan mobilisasi aksi ke jalan di Jayapura dan sejumlah kota di Papua. Kini Veronica masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) karena masih berada di Australia.
Sementara Dhandy Laksono ditangkap pada 26 September 2019. Dalam laporan tersebut tertulis bahwa Dhandy ditangkap akibat cuitan soal kerusuhan Jayapura dan Wamena pada 23 September 2019 yang disebut sebagai ujaran kebencian.
Dhandy dibebaskan beberapa jam kemudian setelah penahanan dirinya memicu kemarahan publik. Namun hingga kini, Dhandy masih berstatus tersangka atas kasus tersebut.