Wano adalah sebutan bagi masyarakat dan bahasa yang mereka gunakan. Masyarakat Wano tinggal di Kampung Lumo, Distrik Lumo, Kabupaten Puncak Jaya, Provinsi Papua.
Menukil tesis Doktor linguistik dari Universitas Oxford, Willem Burung, Wano berasal dari dua kata seru, yakni wa dan no. Ia menjelaskan bahwa wa merupakan kata seru yang berarti salam dan penyambutan. Sedangkan no berarti ‘seperti ini’. Secara sederhana Wano diartikan sebagai sapaan orang-orang daerah Puncak Jaya di Papua.
Belum banyak kajian yang membahas filosofi bahasa Wano, khususnya orang Indonesia. Namun, bahasa ini menjadi sorotan dunia lantaran statusnya yang terancam punah. Lantas, bagaimana nasib bahasa tersebut?
Baca Juga: Dikabarkan Putus Jessica Iskandar dan Richard Kyle Saling Unfollow
Sebab Bahasa Punah
Berdasarkan berita pada tahun 2018 lalu, detik.com mengabarkan bahwa bahasa ini hampir punah. Dalam berita tersebut, diskusi bertajuk ‘Peran Linguistik dan Kepunahan Bahasa’ menjelaskan posisi Wano sebagai bahasa yang hampir punah.
Ia menjelaskan bahwa kepunahan sebuah bahasa dapat disebabkan oleh kontak dengan budaya luar. Pembauran dua budaya berbeda dapat mempengaruhi keberadaan sebuah bahasa. Namun, ia menuturkan bahwa hal tersebut kembali lagi pada si penutur bahasa.
“Tergantung dari pemakai bahasanya. Juga tergantung pada unsur geografis. Banyak bahasa, banyak penutur yang masih tinggal di daerah terpencil, belum terjangkau. Itu bahasa mereka itu kan akan tetap di situ, bertumbuh kalau dia belum ada kontak dunia luar. Tapi kalau sudah ada yang kontak, itu tinggal bertanya bahasa ini akan bertahan atau tidak. Sekali lagi, kembali pada penuturnya. Dia mau tahan atau tidak,” ujarnya dikutip dari detik.com, (30/07/2018).
Ia melanjutkan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi si penutur kala menjaga bahasannya. Di antaranya penggunaan bahasa tersebut, kebijakan masyarakat soal penggunaan bahasa, dan bencana atau wabah.
“Pertama, karena tidak lagi digunakan dalam komunikasi, baik melalui sikap berbahasa, pilihan berbahasa, atau punahnya penutur jati. Kedua, karena kebijakan berbahasa (language policy). Ini bisa melalui pemusnahan bahasa, dominasi bahasa lain, maupun pembatasan ranah pemakaian. Ketiga, karena bencana alam, seperti tsunami, gempa, tanah longsor, wabah penyakit, atau wabah kelaparan,” lanjut burung.
Padahal menurut Willem, bahasa daerah memiliki manfaat, salah satunya mempererat persatuan. Bahasa daerah mampu menciptakan hubungan yang intim antar suku bangsa. Dengan terancamnya sebuah bahasa daerah, maka jati diri suku daerah tersebut pun akan terancam.
“Pertama, karena tidak lagi digunakan dalam komunikasi, baik melalui sikap berbahasa, pilihan berbahasa, atau punahnya penutur jati. Kedua, karena kebijakan berbahasa (language policy). Ini bisa melalui pemusnahan bahasa, dominasi bahasa lain, maupun pembatasan ranah pemakaian. Ketiga, karena bencana alam, seperti tsunami, gempa, tanah longsor, wabah penyakit, atau wabah kelaparan,” jelas Willem.